Selimut laki-laki Sabu

Gbr. 1. Dewan Rue dari Mesara memakai selimut hi'i wohèpi, hubi iki

Busana laki-laki Sabu adalah (atau pernah berupa) kain persegi panjang dan berumbai yang dipakai mengelilingi pinggul disebut hi’i (atau hig’i, hij’i) dalam bahasa Sabu, atau ‘selimut’ dalam bahasa Indonesia. Dewasa ini hanya para pengikut kepercayaan kuno Jingi tiu yang memakai hi’i buatan lokal pada waktu upacara-upacara ritual (Gbr. 1) dan kadang-kadang dalam kehidupan sehari-hari. Dewasa ini mayoritas laki-laki Sabu  lebih suka memakai sarung Jawa dari bahan katun yang dingin, sarung Bugis, atau celana panjang. Identitas etnis satu-satunya adalah sehelai tenunan yang mengelilingi leher pria Sabu. Dalam hal berbusana para perempuan Sabu jauh lebih konservatif dari kaum pria, karena banyak perempuan dalam kehidupan sehari-hari di desa-desa masih mengenakan sarung buatan sendiri. Busana tradisional laki-laki yang dipakai pada waktu upacara terdiri dari sepasang kain tenun ikat. Tenun pertama dipakai di pinggul, tenunan kedua dipakai sebagai selendang di leher yang juga menutupi bahu (Gbr. 1). Di masa yang lalu kedua kain tenun memiliki ukuran dan nama yang serupa. Juga polanya sama karena benang yang dipergunakan untuk membuat sepasang kain diikat dan dicelup pada waktu yang sama. Dewasa ini sudah tidak demikian halnya, busana tradisional bisa memakai pola dan ukuran kain yang berbeda.

 Ciri-ciri sehelai hi’i

Di pulau-pulau lain di Nusa Tenggara Timur, motif pada kain ikat laki-laki menghubungkan si pemakai dengan suku tertentu, seperti halnya di pulau Sumba. Di pulau Sabu, komposisi dan pola tenunan mengidentifikasikan si pemakai dengan kelompok Bunga Palem Besar atau dengan kelompok Bunga Palem Kecil (hubi ae dan hubi iki). Identifikasi sosial mengikuti garis ibu ini sudah sangat kuno dan sudah ada sebelum kedatangan orang Portugis (abad ke 16) dan dikenal jauh sebelum suku (clan laki-laki) (udu) terbentuk. Secara tradisi, perempuan hanya menenun pola kelompok ibunya sendiri. Seorang isteri hanya menenun selimut bagi suaminya, kalau suaminya keturunan nenek moyang yang sama (yaitu berasal dari hubi atau wini yang sama). Bila garis keturunan mereka berbeda, maka selimut laki-laki harus ditenun oleh ibunya, kakak perempuannya atau anak dari kakak perempuan.

 Pola utama, wohèpi dan komposisi dasar dari sehelai hi’i

Selimut hubi iki

Gbr. 2. Pola utama wohèpi untuk selimut kelompok laki-laki dari hubi iki

Komposisi maupun pola sehelai sarung perempuan (èi) terikat oleh peraturan ketat, dan setiap hubi memiliki polanya masing-masing. Demikian halnya dengan selimut laki-laki: setiap hubi masing-masing memiliki motif dasar. Sebenarnya kedua motif dilandaskan pada sebuah pola belah ketupat yang dinamakan wohèpi yang mengingatkan kita pada motif wajik pada sarung perempuan yang dinamakan wokelaku. Bagi anggota kelompok Bunga Palem Kecil (hubi iki), motif belah ketupat bagian sampingnya tertutup, dan motif dinyatakan berbentuk ‘bulat’ (Gbr. 2). Bagi anggota kelompok Bunga Palem Besar (hubi ae), motif belah ketupat bentuknya lebih lonjong, dan cabang-cabangnya yang keluar terbelah oleh sebuah garis tenun sederhana (Gbr.3). Mengikuti zamannya, dari motif dasar wohèpi dikreasikan sebuah motif baru untuk laki-laki kelompok hubi ae yang dinamakan boda, walaupun di wilayah Liae dan Dimu, motif wohèpi masih sering terlihat dipakai oleh laki-laki kelompok hubi ae. Di pulau Sabu barat, di wilayah Seba dan terutama di daerah Mesara, laki-laki kelompok hubi ae memakai motif baru boda yang sering dikombinasikan dengan pola-pola dekoratif lainnya.

Hi’i wohèpi

Gbr. 3. Hi’i wohèpi, huri henguru pidu hubi ae (17 baris bermotif), kelompok hubi ae. Hi'i hekene; sambungan simbolis merah.

Di pulau Sabu Timur, sehelai hi’i dengan motif wohèpi dikombinasikan dengan sekumpulan motif segitiga putih (wopudi) merupakan kain kafan wajib kaum pria, sedangkan di pulau Sabu Barat, kain kafan wohèpi hanya diperuntukkan anggota kelompok hubi iki. Motif wohèpi hegai berasal dari pola yang sama yang ujung-ujungnya membentuk sebuah kait (hegai), dan hanya boleh dipakai oleh anggota keluarga ningrat awah). Pola-pola baru diciptakan untuk para penguasa, untuk membedakan diri dengan orang biasa. Hal yang sama telah disebutkan di atas mengenai sarung perempuan bangsawan (èi raja). Sabuk seorang laki-laki bangsawan yang disebut wai wake seringkali juga menunjukkan garis-garis raja.

Sebuah hi’i tradisional terdiri dari dua lembar tenunan (d’ue kene) yang tidak sama dan memperlihatkan baris-baris bermotif ikat yang berjumlah ganjil atau disebut juga huri. Dalam sistem penalaran orang Sabu, jumlah yang ganjil merupakan ciri khas bagi seorang laki-laki. Sehelai selimut dapat memiliki 5 hingga 19 atau bahkan 21 baris dengan motif utama, tergantung dari ukuran motif yang ditenun. Lebih banyak jumlah huri, lebih tinggi nilai selimut tersebut. Hal ini menunjuk pada kekayaan atau status sosial si pemakai. Sehelai selimut besar yang bila dipakai melewati lutut merupakan hak istimewa tambahan bagi seorang bangsawan. Dewasa ini hi’i ditenun sebagai satu helai, hasil proses tenun tunggal, jadi terdiri dari satu kene saja (hekene). Hi’i ukuran ini seringkali ditenun dengan sebuah sambungan simbolis berwarna putih atau merah (Gbr. 3), sehingga masih tetap bisa dipakai untuk upacara penguburan, dan pada umumnya berukuran lebih kecil dari selimut dua lembar (d’ue kene). Hi’i d’ue kene memperlihatkan keterampilan si penenun, karena kedua helai itu ditenun secara terpisah, tetapi harus berukuran tepat bila disambung setelah selesai.

 Hi’i womèdi  (‘hitam’)

Hi’i yang paling tradisional dengan motif wohèpi hanya memakai dua warna dalam baris-barisnya yang bermotif ikat, yaitu warna indigo-biru dan (atau) putih, sehingga juga disebut hi’i womèdi atau selimut ‘hitam’ (Gbr. 2 & 3). Warna indigo bervariasi dari biru muda hingga biru tua atau hampir hitam, tergantung dari daerah asal si penenun. Seorang penenun dapat menyatakan daerah asal sehelai kain dari jenis warna indigo-biru yang tampak. Motif-motif diperoleh melalui proses ikat tunggal. Pada setiap sisi kain terdapat dua kelompok titik-titik kecil berwarna hitam dan putih yang dinamakan kelutu mèdi dikombinasikan dengan garis-garis tenunan sederhana membentuk sebuah dini, sedangkan dua dini yang membatasi sebuah baris yang terdiri dari sebuah motif utama membentuk wurumada atau ‘mata halus’ kain tersebut. Dini memiliki dua warna: indigo-biru dan putih atau merah dengan indigo-biru. Selimut dari daerah Seba, biasanya memiliki tiga atau enam baris kelutu. Mesara memiliki empat atau delapan baris, dan dari Liae dan Dimu memiliki lima, enam atau bahkan tujuh baris kelutu. Ban hitam sepanjang wurumada disebut mèdi ae yang lebih besar dari roa di Seba, Liae dan Dimu, tetapi ukurannya hampir sama dengan mèdi ae pada selimut di Mesara. Melalui detil-detil ini dapat diketahui daerah asal sehelai hi’i. Ada sejumlah hi’i yang mengkombinasikan warna merah, putih dan indigo pada dini, dan juga dapat memiliki garis-garis merah di motif utama. Walaupun demikian, selimut jenis ini termasuk jenis hi’i wo mèdi juga, karena baris-baris motif yang diikat hanya berwarna indigo-biru dan putih.

Hi’i dengan motif utama dalam tiga warna

Hi’i worapi, motif kekama hab'a dan boda, Mesara

Gbr. 4. Hi’i worapi, motif kekama hab'a dan boda, Mesara

 Pengembangan teknik ikat selanjutya memungkinkan penggunaan tiga warna dalam satu baris ikat, menciptakan hi’i adati dari jenis worapi (Gbr.1, 4 &5) yang mengingatkan kita pada sarung worapi perempuan (èi worapi), yang menggunakan teknik yang sama untuk memperoleh tiga warna. Dini dan hi’i worapi berwarna cerah, terdiri dari garis tipis berwarna merah, biru muda dan kuning. Hi’i yang dibuat untuk para bangsawan memperlihatkan dini yang ‘lengkap’ yang terdiri dari enam atau tujuh warna.

Motif boda on hi'i worapi

Gbr. 4. Motif boda untuk hi’i worapi, Mesara

Dewasa ini, yang sering dipakai adalah benang komersial yang sudah dicelup warna terlebih dahulu, sedangkan dahulu penenun menggunakan bahan pewarna alami: kuning diperoleh dari kunyit, hijau dari daun pohon pinang (Areca catechu) dan pohon dadap, biru muda dari dedaunan nila (indigo), dan kedua nuansa merah dari akar pohon mengkudu.

Di daerah Mesara (Sabu Mehara) dua sub-kelompok atau wini dari kelompok Bunga Palem Kecil (hubi iki) memiliki motif melengkung yang khas yang selalu menghias hi’i worapi mereka. Untuk para wini Putenga, motif ini dinamakan huri kejanga atau motif bercabang keluar. Bagi wini Jawu motif melengkung ini dinamakan keware Hawu, atau ‘lengkung Sabu’. Motif kewaru Hawu merupakan sumber dari motif modern kètu pedi yang tidak dihubungkan dengan kelompok spesifik manapun (Gbr. 6).

Motif Kowa Makaha, 'Makassar boat'

Gbr. 7. Motif kowa Makaha, tidak dihubungkan dengan kelompok spesifik


Motif ketu pedi

Gbr. 6. Motif kètu pedi yang berasal dari motifs dari wini Jawu dan Putenga

Selimut putih: hi’i wopudi

Hi’i wopudi atau selimut putih adalah tenunan persegi panjang dengan rumbai pada kedua ujungnya yang dipakai oleh laki-laki Sabu pada berbagai upacara. Pemakaian selimut ini berbeda di berbagai daerah di Sabu dan pendapat orang mengenai hal ini juga berbeda. Warna putih biasanya dihubungkan dengan waktu damai. Foto dari bangsawan dan penguasa Sabu yang diambil pada zaman kolonial Belanda berulang kali memperlihatkan laki-laki Sabu berbusana kain putih dan bukan tenunan ikat dari kelompoknya. Sejalan dengan pikiran yang sama, perlu dicatat bahwa seorang pengantin pria juga bisa memakai sehelai selimut putih. Atau kain pertama seorang laki-laki yang sudah menikah juga bisa berwarna putih. Selimut pertama yang ditenun oleh seorang istri biasanya berwarna putih. Ada kebiasaan di Sabu, laki-laki memakai selimut putih bila memanjat pohon lontar untuk menapis airnya, atau yang disebut orang lokal ‘mengiris tuak’.

Di abad ke 16 ketika bangsa Portugis tiba di daerah Seba, ada sebuah legenda penting mengenai sehelai selimut putih. Bola Rohi, kakak laki-laki Kore Rohi menanyakan kepada adiknya busana apa yang harus dipakai untuk menyambut orang Portugis. Kore Rohi mengusulkan untuk memakai selimut hi’i wopudi, yang langsung dituruti oleh Bola Rohi. Sudah banyak orang yang datang ke pantai untuk menyambut orang Portugis dan tanaman rumput di kiri dan kanan jalan sudah dikotori oleh ludah sirih orang-orang yang melewati jalan tersebut. Ketika Bola Rohi menyelusuri jalan yang sama dan tiba di pantai, selimutnya yang putih sudah kotor dengan ludah berwarna merah, sehingga orang Portugis tidak mengenalnya sebagai  penguasa, dan menyapa adiknya yang memakai selimut berwarna indigo gelap. Kore Rohi kemudian menjadi raja pertama di Seba semasa pendudukan orang Portugis.

Hi'i wopudi dipakai oleh laki-laki waktu menari ledo

Gbr. 8. Hi'i wopudi dipakai oleh laki-laki waktu menari ledo

Cerita ini membuktikan kebiasaan penguasa pulau Sabu berbusana selimut putih pada pertemuan resmi di masa damai. Cerita ini juga menjelaskan mengapa Bola Rohi digantikan oleh adiknya. Mungkin kebenaran agak menyimpang karena orang Portugis pertama kali mendarat di Dimu, bukan di Seba. Menurut sumber-sumber di Dimu, dua orang pemimpin lokal bernama Lado Aga dan Tenaga dikirim ke Seba untuk mengantar seorang calon kuat untuk menjadi raja Seba. Kore Rohi masih berkeluarga dengan penguasa Dimu, karena itu bisa difahami mengapa ia dipilih sebagai raja dan bukan kakaknya Bola Rohi. Pilihan ini berlatar-belakang politik dan berlandaskan ikatan kekeluargaan erat antara penguasa Seba dan Dimu.

Rumbai selimut

Dahulu, sebelum orang dapat memakai hi’i worapi, benang lungsi yang berwarna putih dan kuning harus dipotong terlebih dahulu, sebelum memelintir ujung-ujung lungsi untuk membentuk rumbai. Sekarang hal ini sudah tidak perlu lagi. Untuk para bangsawan atau seorang pemimpin kepercayaan tradisional, semua ujung lungsi dipelintir menjadi rumbai.

 Memelintir rumbai adalah pekerjaan kaum laki-laki. Setelah memelintir kedua ujung lungsi, kedua ujungnya ditekan dan diratakan dengan pisau. Kedua ujung tersebut kemudian diletakkan saling berhadapan dan dengan sekali pelintir terbentuklah rumbai yang dikehendaki. Rumbai yang sudah selesai digosok dengan bahan lilin agar lebih kaku dan kuat. Ahli pelintir yang terampil dengan penuh kesabaran dapat menghasilkan rumbai yang sangat halus, yang lebih meningkatkan nilai dari selimut tersebut. Selimut yang khusus ditenun untuk kematian, rumbainya tidak dipelintir, alasannya adalah karena selimut tersebut belum pernah dipakai semasa hidupnya.

Komposisi dan motif selimut laki-laki atau hi’i memiliki ciri-ciri khas. Pembagian utama masyarakat menjadi dua kelompok nampak di dalam tenunan yang menjadi indikasi utama untuk mengidentifikasikan hi’i orang Sabu. Motif utama yang menunjuk pada kelompok garis ibu, detil-detil kecil seperti jumlah baris motif titik dan ukuran maupun nuansa warnanya semuanya memberikan indikasi daerah asal selimut tersebut dan juga daerah asal geografis seorang pria Sabu.

Gebr. 9. Motifs boda dan d’ula